Tanggal Satu Bulan Juni
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta filsafat hidup bangsa Indonesia, pada hakekatnya merupakan suatu nilai dasar yang bersifat fundamental, sistematis, dan holistik. Sila per sila yang tersusun adalah satu kesatuan yang bulat, utuh, dan hirarkis, sehingga dapat diartikan sebagai suatu sistem filsafat. Didasar pemikiran filosofis yang terkandung dalam setiap sila bahwa Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara mengandung arti dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan yang berdasarkan kepada nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. [1]
Dikutip dari laman resmi Kemendagri, penetapan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila sempat diperdebatkan di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Pasalnya, sikap pemerintah terhadap Pancasila ambigu. Pada tahun 1970, pemerintah orde baru melalui Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pernah melarang peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Sejak masa pemerintahan orde baru, sejarah tentang rumusan-rumusan awal Pancasila didasarkan pada penelusuran sejarah oleh Nugroho Notosusanto melalui buku Naskah Proklamasi jang Otentik dan Rumusan Pancasila jang Otentik. Setelah reformasi 1998, muncul banyak gugatan tentang hari lahir Pancasila yang sebenarnya. Setidaknya ada tiga tanggal yang berkaitan dengan hari lahir Pancasila, yaitu tanggal 1 Juni 1945, tanggal 22 Juni 1945 dan tanggal 18 Agustus 1945. [2]
MENGAPA TANGGAL 1 JUNI YANG DIPILIH? – Pada Perpres tersebut dijelaskan bahwa penetapan hari lahir Pancasila mengacu pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945. Dalam hari-hari itu, ada 3 orang tokoh yang memaparkan tentang dasar negara yakni Muhammad Yamin, Soepomo, kemudian Soekarno. [3]
Istilah Pancasila baru diperkenalkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Tetapi masih ada proses selanjutnya yakni menjadi Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada 22 Juni 1945 dan juga penetapan Undang-undang Dasar yang juga finalisasi Pancasila pada 18 Agustus 1945.
“Bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir Soekarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara,” tulis perpres itu.
Rumusan yang disampaikan Soekarno pada waktu itu pun berbeda dengan susunan Pancasila yang kita kenal sekarang. Dasar negara yang disampaikan Bung Karno waktu itu secara berurutan yakni: Kebangsaan, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa–namanya ialah Pancasila,” tutur Soekarno dalam sidang BPUPKI seperti dikutip dalam buku Tjamkan Pancasila: Pancasila Dasar Falsafah Negara.
Oleh para anggota BPUPKI kemudian disepakati bahwa pidato Soekarno-lah yang menjawab pertanyaan sidang tentang apa dasarnya Indonesia merdeka. Setelah itu dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
“Pidato itu menarik perhatian anggota Panitia dan disambut dengan tepuk tangan yang riuh. Sesudah itu sidang mengangkat suatu Panitia Kecil untuk merumuskan kembali Pancasila yang diucapkan Bung Karno itu,” tulis Muhammad Hatta tahun 1978 dalam Wasiat Bung Hatta kepada Guntur Soekarno Putra seperti dilampirkan di buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia cetakan tahun 2011.
PPKI terdiri dari 9 orang dan dalam perjalanannya sempat merumuskan Piagam Jakarta. Tetapi kemudian isi dari Piagam Jakarta ditolak oleh perwakilan warga dari Indonesia timur. Sehingga pada 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Pancasila yang kita kenal sekarang ini seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi:
Satu: Ketuhanan Yang Maha Esa
Dua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Tiga: Persatuan Indonesia
Empat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
Lima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
PANCASILA: MAKNA KENYATAAN YANG HAKIKI BANGSA INDONESIA [4] – Memahami Pancasila pada dasarnya adalah salah satu upaya/pernyataan etis dari setiap warga negara yang secara sadar membebaskan segala atribut-atribut individualis-egois yang melekat pada dirinya. Dalam pada itu, kenyataan yang sesungguhnya telah memberikan gambaran bahwa Pancasila lahir sebagai perwujudan dari palsafah dan pandangan hidup bangsa. Pemahaman sila-sila dari Pancasila tidak dapat diartikan/dimaknai secara sendiri-sendiri, akan tetapi harus menyeluruh sebagai mata rantai yang saling berhubungan dan tak terpisahkan satu sama lain. Memahami hanya salah satu sila dari Pancasila, sama artinya dengan memutus rantai ikatan sila yang satu dengan sila yang lainnya, sehingga pengertiannya akan tidak sempurna. Oleh karena itu, memahami Pancasila berarti memahami kenyataan yang sesungguhnya dan sebenar-benarnya tentang hakikat hidup.
Adapun untuk memahami Pancasila, tentunya harus diawali dari sila :
KETUHANAN YANG MAHA ESA ~ Pengakuan mutlak bangsa Indonesia terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat disangkal lagi. Pengakuan ini bersumber pada kesadaran utuh bangsa Indonesia terhadap seluruh alam semesta yang tidak ada setitik lubang jarum pun yang tidak diliputi oleh Kuasa Tuhan Yang Maha Esa, tidak terkecuali dalam diri manusia yang seluruh anggota badannya diliputi oleh Kuasa Tuhan (Ke- Tuhan-an), seperti :
- Mata dengan awasnya
- Kuping dengan dengarnya
- Hidung dengan ciumnya
- Otak dengan ingatnya
- Hati dengan pikirnya
- Mulut dengan ucapnya
- Kaki dengan langkahnya
- Tangan dengan obahnya
- Saraf dengan rasanya
Ataupun ada pepatah/sastra pujangga mengatakan :
“ Kekayon rineka jalma, nggoleki kang anggoleki, dalang murba wayang, wayang murba dalang, nayaga wali sasanga, dalangna sang wali tunggal, tinongton anu nongtonna“.
Bila sepenggal kata yang digarisbawahi tersebut diartikan “… mencari yang mencarinya …“ yang bermakna manusia mencari Tuhan dengan segala kekuasaanNYa yang melekat dalam dirinya, maka janganlah samar dan keliru bahwa ADANYA Tuhan Yang Maha Esa NYATA yang meliputi seluruh yang telah dijadikanNya.
“Kuring percaya Gusti Nu Maha Suci geus ngajadikeun dunya katut pangeusina, ku ayana dunya katut pangeusina teh geus ngajadikeun lantaran ayana kuring sarerea“
Dari kutipan bahasa Sunda di atas pun, kiranya cukup dipahami tentang pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedekat apapun urat nadi dengan leher, masih ada antaranya. Akan tetapi Tuhan dengan seluruh mahlukNya sungguh tiada antaranya. Dengan demikian, kedudukan manusia adalah sebagai abdi Tuhan (Kawula Gusti), yaitu menjalankan darma dan karma untuk mengelola (Mardi) segala apa yang ada tersebut (Ika) atas dasar kesucian, tanpa ada kebohongan (jujur).
KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB ~ Manusia sebagai mahluk yang paling mulia harus dapat memperlihatkan citra kemuliaanya itu. Kemuliaan itu hanya dapat terwujud dari perbuatannya yang berdasar pada sifat-sifat Tuhan Yang Maha Belas Kasih. Sifat belas kasih melahirkan peradaban manusia, dan menjadi ciri utama perikehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, pada dasarnya perikemanusiaan adalah bagaimana manusia yang satu memandang diri manusia lain seperti memandang dirinya sendiri (mencintai sesama secara adil). Sikap ini tumbuh atas dasar keinsafan batin terhadap kenyataan bahwa diri manusia yang berasal dari sari-pati (Kama) tanah air (Nusa) sebagai tumpah darah (haribaan) yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupannya sehingga kecukupan sandang, pangan, dan papan, tempat dimana ia lahir, hidup, dan berpulang (Pulih ka jati, pulang ka asal).
PERSATUAN INDONESIA ~ Semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk menghapus segala bentuk penjajahan di muka bumi pertiwi merupakan kesadaran seluruh rakyat. Kemerdekaan Indonesia dicapai atas perjuangan seluruh rakyat yang dilakukan secara bersama-sama tanpa terkecuali, bergotong royong, menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan dalam suasana kerukunan tanpa memandang golongan, suku, agama, adat istiadat, pangkat dan kedudukan, dan sebagainya. Oleh karena itu, bilamana negara kita yang sudah merdeka ini, segala aturan negara hanya dikuasai/melindungi atas satu golongan/kelompok masyarakat tertentu, maka hal ini jauh dari kenyataan dan bahkan kemerdekaan Indonesia bisa dikatakan tidak jadi. Jiwa Persatuan Indonesia adalah kebangsaan yang bulat, yaitu kesadaran memiliki harga diri, bangsa, tanah air, adat istiadat, negara dan pemerintahan sendiri, serta tidak ada sedikitpun itikad untuk meninggalkan kebudayaan yang berasal dari leluhur bangsa sendiri. Karena, kesemuanya itu bukanlah suatu kebetulan ataupun pemberian dari bangsa lain, namun sesungguhnya bangsa Indonesia terlahir atas Kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN. ~ Sebagai bangsa yang merasa memiliki negara yang berdaulat, sudah barang tentu harus taat dan patuh terhadap undang-undang dasar negaranya sendiri, sebagaimana undang-undang dasar itu dibuat dengan sebaik-baiknya (disepakati oleh seluruh rakyat) dan disesuaikan dengan waktu, tempat dan keadaan. Jiwa rakyat adalah sebaik-baiknya warga negara yang taat dan patuh terhadap negara dan pemerintahannya sendiri yang dibentuk secara hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Begitupun sebaliknya, kedaulatan rakyat adalah dasar kekuasaan pemerintah (Suara Rakyat adalah suara Tuhan). Oleh karena itu, secara konstitusional tidak dapat dipertanggungjawabkan, apabila diantara kita ada yang berkehendak untuk tidak menerima kemauan dari sebagian, meski sekecil apapun dari rakyat. Dengan kata lain, tidaklah konstitusional apabila kita memaksakan kemauan kita dengan tidak memperhatikan keinginan dan kepentingan sebagian, meski sekecil apapun dari rakyat.1 Pernyataan inilah yang merupakan dasar pelaksanaan musyawarah mufakat yang seutuhnya.
Untuk mewujudkan Kedaulatan Rakyat, maka setiap warga negara harus tertanam jiwa rela berkorban demi membela dan menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa dan negara sampai titik darah penghabisan.
1 Kutipan Pidato Politik Partai Permai oleh I. Rustama Kartawinata dalam sidang Konstituante,1955. |
KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA ~ Wujud Tuhan Yang Maha Esa nyata meliputi seluruh mahlukNya. Besar, kecil, atas, bawah, pria, wanita, tinggi, rendah, dan sebagainya. Sungguhpun segala keadaan itu sudah menjadi KEADILAN Tuhan yang tidak membeda-bedakan satu sama lain, karena semua berasal dariNya. Keadilan Tuhan merupakan hukumNya yang tidak bisa ditawar lagi. Maka Keadilan Tuhan harus menjadi sumber hukum masyarakat-sosial (abdi-abdi Gusti) yang benar-benar BENAR. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya dapat terwujud oleh masyarakat Indonesia yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, yaitu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk menerima KodratNya ( boga rasa, rumasa tur tumarima) sebagai bangsa Indonesia, dan senantiasa secara bersama-sama mencari jalan keselamatan bagi seluruh mahluk Tuhan (Kawula Gusti).
MASA DEPAN BANGSA INDONESIA [4] – Masa depan bangsa terletak pada kemauan seluruh warga negaranya. Untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa, sudah seyogyanya setiap warga negara dapat mengetahui, memahami dan mempunyai itikad untuk melaksanakan segala aturan dengan sebaik-baiknya, supaya :
- Sehat (cageur) dirinya, memiliki harga diri dan rasa yang sejati
- Bajik/Bijak (bageur) perilakunya, menyadari sepenuhnya bahwa hidup dan penghidupan semua umat Tuhan berlaku hukum “Hanyakra Manggilingan”, sehingga mau menghormati dan menghargai sesama.
- Benar (bener) pengetahuannya, menerima kenyataaan yang hakiki, dan tidak akan menngakui hak kepunyaan orang lain, kecuali milik pribadinya sendiri.
- Pintar (pinter) Akunya, tidak melakukan perbuatan yang tidak wajib, serta kukuh teguh sebagai :
- Orang; tidak menuruti nafsu, melepas amarah.
- Manusia; cinta kasih terhadap sesama.
- Bangsa; hidup rukun dengan sesama, mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, menjunjung tinggi kemerdekaan, kedaulatan rakyat dan negara, Sepi ing pamrih rame ing gawe, memayu hayuning bawana.
- Kawula Nagara; taat dan patuh terhadap segala peraturan dan perudang-undangan negara, tidak melakukan Ma-7: Main, Maling, Madon, Mabok, Madat, Mangani, Mateni.
- Kawula Gusti; menerima Kodrat dan Iradat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi hidup dan penghidupan kepada seluruh umat secara adil tidak membeda-bedakan.
Sudah jelas kiranya, tidaklah berlebihan jikalau Pancasila merupakan sesuatu yang mutlak dan tidak bisa dipungkiri keberadaanya dalam nafas dan jiwa bangsa Indonesia. Pancasila menghampari seluas-luasnya bumi persada, dan menaungi cakrawala langit Indonesia, dimana seluruh bangsa Indonesai yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dapat hidup secara damai, aman dan sentosa, jauh dari segala iri dengki dan pertentangan. Maka Pancasila adalah makna kenyataan hakiki bangsa Indonesia sebagai bangsa yang Mardika. Mardika hidup di tanah airnya sendiri, Mardika memakai cara, ciri, adat, budaya, dan bahasanya sendiri, Mardika untuk menentukan nasibnya sendiri. Mardika dari segala belenggu penjajahan lahir dan batin (Mardika tina pangbobodo, pangbibita, panyingsieunan, jeung pamaksaan).
Barang siapa yang tidak mau mengakui dan melaksanakan Pancasila, berarti bukan warga negara. Dan barang siapa yang tidak mencintai nusa, bangsa, budaya, dan bahasanya sendiri, itu berarti yang disebut Mardika itu tidak ada.
REFERENSI:
[1] | Firdaus Baderi. (2017, July) neraca.co.id. [Online]. http://www.neraca.co.id/article/87178/filosofi-pancasila |
[2] | Yandri Daniel Damaledo. (2018, Mei) www.tirto.id. [Online]. https://tirto.id/sejarah-hari-lahir-pancasila-yang-diperingati-besok-1-juni-2018-cLt3 |
[3] | Bagus Prihantoro Nugroho. (2017, Juni) news.detik.com. [Online]. https://news.detik.com/berita/d-3517297/mengapa-1-juni-jadi-hari-lahir-pancasila |
[4] | DMP AKP, “Pancasila Makna Kenyataan Hakiki Bangsa Indonesia,” Paper, vol. I, no. 5, pp. 2-4, July 2006. |